Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah melalui kajiannya memberikan pemahaman yang jelas mengenai konsep bid’ah dalam praktek keagamaan. Pertanyaan mendasar yang sering muncul, yakni apakah segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dapat dianggap bid’ah, dijawab dengan tegas dan mendalam.
Definisi Bid’ah: Urusan Peribadatan yang Tidak Dicontohkan
Menurut kajian tersebut, bid’ah didefinisikan sebagai perbuatan atau perkataan yang berkaitan dengan ‘umurut-ta’abbudiy’ (urusan peribadatan) yang baru dan tidak pernah diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semasa hidupnya. Penekanan ini menjelaskan bahwa bid’ah hanya mencakup aspek-aspek khusus dalam ibadah, tidak termasuk urusan di luar ibadah.
Hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berbunyi, “Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihatku shalat” [HR. al-Bukhari], menjadi rujukan utama dalam memahami tata cara ibadah. Hadis ini menegaskan bahwa segala bentuk ibadah harus didasarkan pada petunjuk sahih yang telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mencakup tata cara, waktu pelaksanaan, dan ketentuan lainnya.
Pentingnya Mengikuti Nash yang Shahih
Majelis Tarjih menekankan pentingnya mengikuti nash-nash yang shahih dan maqbul dalam menjalankan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Kajian tersebut memperingatkan bahwa menetapkan cara, waktu, atau bacaan ibadah tanpa dasar yang sah adalah bentuk kedustaan terhadap agama.
Hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih).
Hal ini diperkuat oleh hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa yang mengada-adakan kedustaan atasku, maka berarti telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih).
Kedua hadis ini memberikan ancaman serius kepada siapa saja yang berbuat bid’ah dengan mengatasnamakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk kedustaan yang tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga berpotensi menyesatkan umat.
Keluwesan dalam Urusan Non-Peribadatan
Kajian Tarjih juga menjelaskan adanya kelonggaran dalam konteks ‘umuru ghairut-ta’abbudiy’ (urusan non-peribadatan). Dalam aspek ini, perbuatan yang tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tetap dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Islam sebagai agama yang universal memberikan ruang fleksibilitas kepada umatnya untuk mengembangkan kehidupan sosial, teknologi, dan budaya, dengan syarat tetap mematuhi nilai-nilai moral dan prinsip etika Islam.
Peringatan terhadap Bahaya Bid’ah
Majelis Tarjih mengingatkan bahwa praktik bid’ah dalam ‘umurut-ta’abbudiy’ dapat menimbulkan dampak buruk yang meluas, terutama jika dipraktikkan oleh mereka yang kurang memahami ajaran agama secara benar. Oleh sebab itu, umat Islam diajak untuk lebih berhati-hati dan selalu merujuk pada sumber ajaran Islam yang sahih dan terpercaya.
Kesimpulan
Pemahaman bid’ah menurut Muhammadiyah memberikan batasan yang tegas antara urusan ibadah dan non-ibadah. Dalam hal ibadah, umat Islam diharapkan untuk berpegang pada tuntunan yang jelas dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sementara dalam urusan di luar ibadah, Islam memberikan keluwesan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat.
Kajian ini menjadi panduan penting bagi umat Islam agar dapat menjalankan ajaran agama dengan benar dan terhindar dari penyimpangan. Dengan demikian, semangat beragama yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dapat terus terjaga.
Referensi artikel terkait pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai batasan bid’ah dapat ditemukan di situs resmi Muhammadiyah