Dalam sejarah dinamik keutamatan bangsa Indonesia, tahun 1981 menjadi momen berat bagi ulama besar Muhammadiyah, Allahuyarham Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hamka membuat keputusan penting: meletakkan jabatan demi mempertahankan prinsipnya terkait Fatwa Perayaan Natal Bersama. Keputusan ini menjadi salah satu babak penting dalam perjalanan toleransi beragama di Indonesia.
Awal Mula Polemik Fatwa
Pada 1 Jumadil Awal 1401 H atau 7 Maret 1981, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan haram bagi umat Islam untuk mengikuti Perayaan Natal Bersama. Fatwa ini muncul akibat kritik terhadap praktik ‘Parade Doa’ lintas agama yang dimulai sejak 1968. Pada tahun itu, Hari Raya Idulfitri dan Natal berdekatan, yang memicu penggabungan perayaan oleh beberapa instansi pemerintah.
Dalam praktik ‘Parade Doa’, seperti dicatat Umar Hasyim, terjadi paradoks teologis saat ayat Al-Qur’an dibacakan bersama dengan ayat Injil. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya sinkretisme agama. Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) mencatat bahwa perayaan serupa terus berlanjut hingga MUI berdiri pada 1975.
Kritik dan Fatwa Haram
Kritik terhadap perayaan lintas agama ini semakin tajam ketika televisi menayangkan pejabat muslim ikut menyalakan lilin dan menyanyikan lagu Natal. Menurut panduan Dinas Pembinaan Mental TNI-AD (1980), kegiatan seperti itu dianggap ibadah oleh umat Kristen. Untuk membentengi akidah, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam mengikuti kegiatan Natal yang bersifat ritual.
Namun, fatwa ini tidak melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natal sebagai bentuk penghormatan, selama tidak terlibat dalam ritual keagamaan seperti misa atau kebaktian. Hal ini ditegaskan dalam klarifikasi yang dikeluarkan MUI pada 30 April 1981, ditandatangani oleh Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko.
Hamka dan Tanggung Jawab Besar
Fatwa ini memicu reaksi keras dari Menteri Agama, Letjen TNI (Purn) H. Alamsjah Ratu Prawiranegara, yang merasa kebijakan pemerintah tentang kerukunan umat beragama diabaikan. Dalam pertemuan di Departemen Agama pada 23 April 1981, Hamka mengambil tanggung jawab penuh atas polemik ini dengan meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI pada 19 Mei 1981.
“Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi, sayalah yang mesti berhenti,” ungkap Hamka, sebagaimana dicatat dalam Seri I Buya Hamka oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (2019).
Fatwa Ditarik, Prinsip Tetap Dijaga
Meski fatwa tersebut ditarik, Hamka menegaskan keabsahan isinya tetap sah. Dalam Panji Masyarakat edisi 20 Mei 1981, ia mengaku berat mencabut fatwa tersebut, namun ia juga memikirkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. “Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya,” katanya.
Pengucapan Selamat Natal
Terkait pengucapan selamat Natal, anak Hamka, Irfan Hamka, membantah bahwa ayahnya melarang hal itu. Dalam wawancara dengan Republika (23 Desember 2014), Irfan menyebut Hamka pernah mengucapkan selamat Natal kepada tetangganya yang beragama Kristen saat tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Hamka menghormati hubungan sosial lintas agama.
Baca Juga: Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Muhammadiyah
Refleksi dan Nilai yang Diajarkan
Kisah Hamka menunjukkan keseimbangan antara menjaga prinsip akidah dan membangun toleransi. Fatwa tersebut tidak dimaksudkan untuk merusak hubungan antarumat beragama, melainkan untuk menjaga kemurnian keyakinan masing-masing. Di sisi lain, sikap Hamka yang tetap menghormati tetangga Kristiani mencerminkan semangat Islam yang rahmatan lil alamin.
Polemik ini juga menjadi pengingat bahwa toleransi sejati terletak pada penghormatan terhadap keyakinan orang lain tanpa mencampuradukkan ajaran agama. Warisan Hamka dalam menjaga prinsip dan membangun harmoni tetap relevan hingga kini.