Sumpah pocong adalah salah satu fenomena yang cukup dikenal di Indonesia, di mana praktik ini sering kali digunakan untuk membuktikan kebenaran dalam kasus perselisihan atau tuduhan. Sebagai sebuah tradisi yang khas, sumpah pocong menarik perhatian banyak pihak, terutama dalam konteks hukum Islam dan praktik keagamaan. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki pandangan tersendiri mengenai sumpah pocong ini. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai hukum sumpah pocong menurut Muhammadiyah, serta bagaimana Islam secara umum memandang praktik ini.
Pengertian dan Jenis-Jenis Sumpah dalam Islam
Sumpah dalam Islam dikenal dengan istilah al-Yamin, al-Hilfu, atau al-Qasam. Secara umum, sumpah dalam Islam digunakan untuk memperkuat pernyataan atau komitmen seseorang, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks hukum. Sumpah memiliki landasan yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga praktik ini dianggap sah secara syariat.
Secara garis besar, sumpah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis:
- Sumpah di Luar Pengadilan: Sumpah ini biasanya dilakukan di luar konteks hukum formal. Sumpah semacam ini sering kali digunakan oleh individu untuk menyangkal tuduhan, menyelesaikan perselisihan, atau untuk menegaskan kebenaran dari suatu pernyataan. Dalam masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW, sumpah merupakan bagian dari budaya mereka dan sering kali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Rasulullah SAW mengarahkan umat Islam untuk hanya bersumpah dengan nama Allah, bukan dengan nama benda atau leluhur.Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud dan an-Nasai dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian, jangan pula dengan nama ibu-ibu kalian, atau dengan nama patung-patung. Janganlah bersumpah kecuali dengan nama Allah, dan janganlah bersumpah kecuali kalian benar (apa yang disumpahkan).” (HR. Abu Dawud).Hadis ini menunjukkan bahwa dalam Islam, sumpah hanya boleh dilakukan dengan menyebut nama Allah, seperti “Wallahi” (Demi Allah), dan harus didasarkan pada kebenaran. Sumpah tidak boleh digunakan untuk main-main, atau untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl: 94. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr, Rasulullah SAW bersabda bahwa di antara dosa besar adalah sumpah bohong:
“Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh, dan bersumpah bohong.” (HR. Bukhari).Selain itu, Islam juga melarang sumpah yang menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan. Dalam QS. Al-Baqarah: 224, Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 224). - Sumpah di Pengadilan: Sumpah ini dilakukan dalam konteks hukum, di mana seorang hakim dapat meminta seseorang untuk bersumpah sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara. Sumpah ini bisa diperintahkan oleh hakim jika alat bukti yang tersedia dianggap tidak cukup. Dalam beberapa kasus, sumpah ini juga digunakan sebagai bukti tambahan yang menentukan keputusan hukum.Sumpah di pengadilan dikenal dengan istilah yamin ‘ala al-bat atau decissiore eed, yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam sengketa atas permintaan pihak lainnya, biasanya karena tidak ada alat bukti yang mendukung. Jika sumpah ini diterima oleh hakim dan pihak lawan, maka pihak yang bersumpah akan dimenangkan dalam perkaranya. Dalam logika Islam, jika seseorang yakin dengan kebenarannya, maka ia tidak akan ragu untuk mengucapkan sumpah.
Hukum Sumpah Pocong dan Mubahalah dalam Islam
Sumpah Pocong sebagai Tradisi Lokal
Sumpah pocong sendiri adalah praktik yang khas di Indonesia, di mana seseorang yang bersumpah dibungkus dengan kain kafan, seakan-akan ia sudah meninggal dunia. Tradisi ini biasanya dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan atau untuk membuktikan kebenaran dalam suatu tuduhan. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa sumpah pocong tidak dikenal dalam syariat Islam.
Dalam pandangan Muhammadiyah, sumpah pocong sebagai tradisi lokal tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Meskipun isi sumpah pocong, seperti menggunakan kata-kata “Demi Allah” dan siap menerima kutukan jika berbohong, mungkin tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip sumpah dalam Islam, tata cara sumpah ini yang melibatkan penggunaan kain kafan menimbulkan pertanyaan. Ada makna filosofis dan kejiwaan yang terkandung dalam praktik ini, terutama di kalangan masyarakat Jawa, yang mengaitkannya dengan konsep “kuwalat” atau kutukan.
Muhammadiyah berpendapat bahwa jika seseorang lebih takut kepada simbol-simbol seperti kain kafan daripada kepada Allah, maka ini bisa mengarah pada perbuatan syirik, yang sangat dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, Muhammadiyah menyimpulkan bahwa sumpah pocong tidak boleh dilakukan. Sebagai gantinya, umat Islam dianjurkan untuk menggunakan cara bersumpah yang sesuai dengan syariat Islam tanpa melibatkan elemen-elemen budaya yang tidak Islami.
Mubahalah: Sumpah dengan Kutukan Allah
Dalam Islam, terdapat konsep sumpah yang mirip dengan sumpah pocong, yang dikenal dengan istilah mubahalah. Mubahalah adalah sumpah yang sangat serius, di mana kedua belah pihak yang bersengketa siap menerima kutukan Allah jika mereka berbohong. Konsep ini disebutkan dalam QS. Ali Imran: 61:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’” (Ali Imran: 61).
Riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menawarkan mubahalah kepada utusan Najran yang bersikeras bahwa Isa Almasih adalah putra Allah, namun mereka menolak ajakan tersebut.
Selain didasarkan pada ayat ini, sumpah yang berisi kesiapan menerima kutukan Allah juga didasarkan pada QS. An-Nur: 6-9, yang berbicara tentang li’an—sumpah yang digunakan dalam kasus suami yang menuduh istrinya berzina tanpa saksi. Dalam situasi ini, suami bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa ia berkata benar, dan sumpah kelima adalah kesiapan menerima kutukan Allah jika ia berbohong. Istri juga bersumpah dengan cara yang sama, dengan isi sumpah yang menyatakan bahwa suaminya berdusta dan siap menerima kutukan Allah jika suaminya benar.
Meskipun mubahalah diperbolehkan dalam Islam, Muhammadiyah mengingatkan bahwa sumpah dengan kutukan Allah adalah tindakan yang sangat serius dan berbahaya. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk mencari cara penyelesaian yang lebih damai dan rasional, menghindari sumpah yang mengandung kutukan. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik yang lebih besar dan menjaga hubungan sosial yang baik.
Kesimpulan
Sumpah pocong, meskipun menjadi bagian dari tradisi lokal di Indonesia, tidak memiliki dasar dalam syariat Islam dan tidak boleh untuk dilakukan menurut pandangan tarjih Muhammadiyah. Sumpah dalam Islam harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat, tanpa melibatkan elemen-elemen budaya yang dapat mengarah pada syirik atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal sumpah dengan kutukan Allah (mubahalah), Islam mengizinkan praktik ini, tetapi dengan sangat berhati-hati dan hanya dalam situasi yang benar-benar diperlukan. Sebaiknya, umat Islam mencari penyelesaian konflik dengan cara yang lebih damai dan bijaksana, menghindari sumpah yang dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Wallahu a’lam bishowab.
Sumber: muhammadiyah.or.id
Hukum Sumpah Pocong dan Mubahalah dalam Islam