Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan anak usia sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan UU Perkawinan, yang menetapkan batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun. Menurutnya, remaja yang masih di bawah usia tersebut tidak seharusnya diberikan akses mudah terhadap alat kontrasepsi, karena hal ini bisa mendorong perilaku seks bebas yang merusak moralitas remaja.
“Batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun. Remaja adalah mereka yang berusia di bawah 19 tahun,” tegas Mu’ti pada Rabu, 7 Agustus 2024, sebagaimana dikutip dari Muhammadiyah.or.id. Ia menambahkan bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja justru berpotensi menimbulkan kerusakan moral yang lebih besar. “Potensi kerusakan moral akan semakin besar. Jangan sampai kepedulian akan kesehatan reproduksi merusak kesehatan mental dan moral masyarakat, khususnya remaja,” lanjutnya.
Dukungan terhadap pernyataan Mu’ti juga datang dari akademisi Muhammadiyah. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Evi Rinata, menyatakan bahwa kebijakan ini telah memicu polemik di masyarakat. Menurutnya, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada siswa harus lebih menekankan pada edukasi kesehatan reproduksi, bukan pada penyediaan alat kontrasepsi.
“Harusnya pelayanan kesehatan yang diberikan pada siswa, penekanannya pada edukasi kesehatan reproduksi, bukan pada penyediaan alat kontrasepsi,” ujar Evi, seperti dikutip dari umsida.ac.id, Jumat, 9 Agustus 2024. Ia menjelaskan bahwa ada beberapa aspek pelayanan kesehatan yang lebih mendesak untuk diberikan kepada remaja, seperti sosialisasi sistem, fungsi, dan proses reproduksi; menjaga kesehatan reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
Evi juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat dan membuka celah bagi penyalahgunaan di lapangan. “Menurut saya, penyediaan alat kontrasepsi ini yang perlu untuk ditinjau kembali,” ujarnya. Setelah peninjauan ulang dilakukan, menurut Evi, perlu adanya pengawasan ketat terhadap implementasi kebijakan ini di lapangan. Ia menekankan bahwa pemerintah harus mampu mengevaluasi dan mengawasi jalannya PP ini, mengingat luasnya wilayah Indonesia dengan berbagai problematika kesehatan, khususnya terkait kesehatan reproduksi remaja.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mengesahkan PP Nomor 28/2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Dalam Pasal 103 ayat 4 PP tersebut, disebutkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi meliputi deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, serta penyediaan alat kontrasepsi.
Sikap MUI tentang Alat Kontrasepsi untuk Remaja
Dari perspektif Islam, penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang belum menikah dapat dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam pandangan Islam, hubungan seksual hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan, sehingga kebijakan yang mendorong penggunaan alat kontrasepsi oleh remaja sebelum menikah dapat dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengungkapkan bahwa saat ini mereka sedang mengkaji Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, khususnya Pasal tentang Penyediaan Alat Kontrasepsi bagi Anak Usia Sekolah dan Remaja yang tengah menjadi kontroversi di masyarakat.
“Saya sudah ada poin-poin yang terkait itu, karena kekhawatiran sebagai pelegalan perzinahan gitu kan. Nah itu kami sedang mengkaji itu Insyallah secepatnya akan ada respons dari MUI secara resmi,” kata Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zubaidi di Kota Bandung, Minggu (11/08/2024).
Sebagai solusi, pendekatan yang lebih holistik diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja. Edukasi mengenai pentingnya menjaga kehormatan diri, pengendalian diri, serta penguatan nilai-nilai moral dan agama harus diperkuat di kalangan remaja. Selain itu, pemerintah juga dapat mengembangkan program-program bimbingan dan konseling yang berlandaskan nilai-nilai agama untuk membantu remaja memahami pentingnya menunda hubungan seksual hingga menikah. Pendekatan yang berbasis nilai-nilai Islam ini diharapkan dapat mencegah perilaku yang tidak sesuai dan menjaga kesehatan mental serta moral generasi muda.