Bulan Sya’ban dikenal sebagai bulan penuh kebaikan, meski sering kali dilalaikan karena posisinya berada di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.”
(HR. An Nasa’i no. 2357)
Baca Juga: Keutamaan Bulan Syaban: Amalan Sunnah, Hikmah, dan Dalilnya
Namun, bagaimana dengan amalan puasa khusus di malam atau siang hari Nisfu Sya’ban? Apakah benar ada tuntunan Islam terkait hal tersebut?
Begini Pandangan Muhammadiyah
Dalam artikel yang berjudul ‘Adakah Amalan Puasa Nisfu Syaban?’ di situs resmi Persyarikatan Muhammadiyah, dijelaskan bahwa hukum asal ibadah mahdlah (ibadah khusus) adalah haram, kecuali jika terdapat dalil dari Al-Quran atau As-Sunnah yang mendukung pelaksanaannya. Puasa Nisfu Sya’ban termasuk dalam kategori ibadah mahdlah yang pelaksanaannya memerlukan dalil syar’i yang sahih.
Sebagian masyarakat menganggap ada dalil yang menganjurkan puasa Nisfu Sya’ban berdasarkan hadis berikut:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا
“Jika ada malam Nisfu Sya’ban maka dirikanlah (ibadahlah) di malamnya dan puasalah di siang harinya.”
Namun, menurut Muhammadiyah, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Ali r.a. dan oleh para ulama dinyatakan dhaif (lemah) karena adanya rawi yang terkenal memalsukan hadis. Oleh sebab itu, hadis ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mengamalkan puasa atau ibadah khusus di Nisfu Sya’ban.
Hadis Shahih tentang Puasa di Bulan Sya’ban
Meski tidak ada dalil shahih mengenai puasa Nisfu Sya’ban, terdapat sejumlah hadis sahih yang menyebutkan anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban secara umum.
Siti Aisyah r.a. meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Dari Siti Aisyah r.a. berkata: Rasulullah berpuasa hingga kami menyangka Ia berbuka, dan berbuka hingga kami menyangka Ia tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasul menyempurnakan puasanya satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat Rasul memperbanyak puasa dibandingkan bulan Sya’ban.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan:
لَقَدْ كَانَتْ إِحْدَانَا تُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَمَا تَقْدِرُ عَلَى أَنْ تَقْضِيَ حَتَّى يَدْخُلَ شَعْبَانُ، وَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَصُومُ فِي شَهْرٍ مَا يَصُومُ فِي شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ
“Salah satu dari kami biasa berbuka di bulan Ramadan, dan tidak mampu untuk mengqadha puasa tersebut hingga masuk bulan Sya’ban. Rasulullah tidak berpuasa di bulan mana pun seperti yang beliau berpuasa di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa sepanjang bulan itu kecuali sedikit.”
(HR. An-Nasai)
Menurut Muhammadiyah, dua hadis di atas menggambarkan teknis pelaksanaan puasa Nabi di bulan Sya’ban sebagai berikut:
- Nabi terkadang berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Sya’ban.
- Nabi terkadang tidak berpuasa penuh, tetapi memperbanyak puasa di bulan tersebut dibandingkan bulan lainnya.
Muhammadiyah juga menjelaskan bahwa ungkapan “puasa sepanjang bulan” pada riwayat An-Nasai perlu ditinjau lebih dalam. Hal ini karena kebiasaan orang Arab menggunakan ungkapan tersebut sering kali bermakna metaforis, yaitu menggambarkan frekuensi yang banyak, bukan sepenuhnya penuh secara harfiah.
Kesimpulan Muhammadiyah
Muhammadiyah menyimpulkan bahwa tidak ada ibadah khusus yang disyariatkan untuk Nisfu Sya’ban, seperti puasa, Yasinan, atau amalan tertentu lainnya. Apa yang dianjurkan oleh Rasulullah adalah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban secara umum, dengan teknis seperti:
- Puasa selama satu bulan penuh.
- Tidak penuh, tetapi memperbanyak puasa sunnah yang telah ada, seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, atau bahkan puasa Daud.
Dengan demikian, umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan bulan Sya’ban untuk memperbanyak amal saleh, termasuk puasa sunnah, tanpa mengkhususkan hari tertentu seperti Nisfu Sya’ban. Hal ini sejalan dengan prinsip Muhammadiyah dalam beribadah, yaitu berlandaskan dalil yang shahih dan tidak menambah-nambah syariat.