Pada bulan November 2023, Persyarikatan Muhammadiyah mencapai usia 111 tahun. Hingga kini, persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut telah melalui berbagai tantangan dan rintangan. Entitas yang mengusung dakwah berkemajuan itu terus mengisisejarah Republik Indonesia, sejak era kolonial, revolusi, dan periode-periode kepemimpinan presiden Republik Indonesia.
Pada masa Orde Lama, Muhammadiyah sempat ‘berjarak’ dengan penguasa. Ceritanya bermula dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang di dalamnya Muhammadiyah menjadi salah satu unsur utama.
Berbicara tentang Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), tidak lepas dari dinamika politik sejak medio tahun 1950-an. Kala itu, kekuasaan politik di Indonesia kian terpusat pada sosok Presiden Soekarno. Pada 1 Desember 1956, Bung Hatta meletakkan jabatan wakil presiden. Mundurnya negarawan berdarah Minang itu disebabkan adanya perbedaan yang prinsipil di antara kedua sosok Dwi-Tunggal tersebut.
Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno bahwa revolusi belum selesai. Retorika tersebut justru menimbulkan kesan tidak sejalan dengan pembangunan. Dalam hemat Bung Hatta, revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia. Pendapat lain mengatakan, Bung Hatta mundur karena merasa dalam sistem kabinet parlementer pemeritahan, Presiden hanya bertugas sebagai kepala negara. Maka, fungsi Wakil Presiden otomatis tidak diperlukan lagi.
Mundurnya Bung Hatta membuat “girang dan riang” para politikus partai komunis. Dalam Pemilu tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menduduki posisi ke-4 terbesar. Di urutan pertama hingga ketiga, ada PNI, Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama.
Lebih sukacita lagi PKI tatkala Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pecah pada Februari 1958. Munculnya gerakan PRRI dilatari ketidakpuasan tokoh-tokoh di daerah. Mereka menganggap, pemerintah pusat telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional. Di samping itu, Bung Karno dinilai terlalu dekat dengan PKI, yang pada 1948 dahulu justru memberontak ketika Indonesia sedang digempur Belanda.
Dalam struktur PRRI, terdapat tokoh-tokoh penting Masyumi. Memanfaatkan kesempatan itu, PKI lalu membujuk Bung Karno agar hak hidup Partai Masyumi dicabut sekali dan untuk selama-lamanya. Pada 17 Agustus 1960, Presiden mengeluarkan Keppres No 200/1960. Isinya memerintahkan Masyumi untuk bubar. Dalih utamanya, beberapa pemimpin partai berlogo bulan sabit dan bintang itu terlibat dalam Peristiwa PRRI. Sementara, pimpinan Masyumi yang baru di bawah Prawoto Mangkusasmito tidak mengutuk mereka yang terlibat itu.
Sebagai partai kaum modernis, tentunya tidak ada pilihan selain taat konstitusi dan hukum kala itu. Sejak 13 September 1960 akhirnya Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi bubar.
Pro dan kontra di Muhammadiyah
Wajarlah bila Muhammadiyah termasuk yang kecewa dengan keputusan otoriter Bung Karno kala itu. Salah seorang tokoh Muhammadiyah yang turut menaruh concern akan hal ini ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka.
Sebuah berita membuatnya terkejut pada tahun1960, yakni sesudah pembubaran paksa Partai Masyumi. Kemudian pasca itu Bung Karno dikabarkan menunjuk Moeljadi Djojomartono sebagai menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Tak menunggu waktu lama, terjadilah perdebatan atau bahkan pro-kontra di internal tokoh Persyarikatan Muhammadiyah.
Sebagai catatan, Moeljadi Djojomartono adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Ia telah aktif di persyarikatan Muhammadiyah ini sejak remaja di Solo, Jawa Tengah. Hingga pada tahun 1959, namanya tercatat dalam struktur Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Ada yang menolak masuknya Moeljadi ke dalam kabinet Bung Karno. Mereka menilai, Muhammadiyah terkesan sudah bertekuk lutut di bawah rezim Bung Karno karena seorang unsur PP masuk di dalam pemerintahan pusat. Buya Hamka termasuk kelompok yang berpandangan demikian.
Namun, ada pula yang secara terbuka mendukung Moeljadi menjadi menko kesejahteraan rakyat. Seorang tokoh Muhammadiyah kelahiran Kauman Yogyakarta yaitu KH. Farid Ma’ruf, termasuk yang memberikan dukungan kala itu.
Sesungguhnya, antara Buya Hamka dan KH. Farid Ma’ruf bisa dibilang sebaya. Mereka sama-sama kelahiran tahun 1908. Polemik dimulai dengan tulisan Hamka yang terbit di harian Abadi. Judulnya cukup hangat: “Maka Pecahlah Muhammadiyah.” Dalam tulisannya di harian itu, tokoh berdarah Minangkabau tersebut menyatakan dan menegaskan, ada dua golongan dalam PP Muhammadiyah akibat masuknya Moeljadi ke dalam kabinet bung karno. Kedua kelompok yang bertolak belakang itu: golongan istana dan luar istana.
Hamka juga menyebut bahwa Farid Ma’ruf termasuk golongan yang pertama karena berupaya “membawa Muhammadiyah ke dalam Istana.” Akibatnya, sesudah artikel itu terbit sebagian warga Muhammadiyah menyudutkan nama Farid Ma’ruf dan tentunya Moeljadi Djojomartono yang ditunjuk masuk sebagai menko kesra.
Air mata Hamka
Pada Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014) memuat kisah mengharukan dan penuh keteladanan pascaterbitnya tulisan di harian Abadi 1960 itu. Tak lama kemudian, sidang Tanwir Muhammadiyah digelar di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Forum ini menjadi buruan para jurnalis atau wartawan. Sebab, hadir di sana antara lain Buya Hamka dan Farid Ma’ruf.
Tibalah saatnya moderator mempersilakan Hamka naik ke mimbar. Secara tersirat, Hamka dipersilakan untuk memberikan hak jawab atau klarifikasi tentang tulisannya di harian Abadi, “Maka Pecahlah Muhammadiyah.” Di atas mimbar, Hamka berdiri dengan tenang. Untuk sesaat, Hamka tidak mengucapkan sepatah kata pun sesudah mengucap salam pembuka.
Tiba-tiba, Hamka berurai air mata. Dengan suara tersendat menahan sedih, ia mengakui bahwa perasaannya tersentuh dan haru. Segera, tangannya mencari-cari pulpen, lalu ia menulis di atas secarik kertas. Katanya, semua yang ditulisnya dalam harian Abadi itu bermaksud baik, didorong niatan semata-mata cintanya kepada Persyarikatan Muhammadiyah.
Namun, lanjutnya, jika tulisan yang terbit itu menyinggung perasaan Farid Ma’ruf yang sangat dicintainya, Hamka menyatakan bahwa sangat menyesal. Di hadapan hadirin itu, ia meminta maaf dan memohon ampun kepada Farid Ma’ruf.
Turunlah Hamka dari atas panggung. Selang beberapa saat kemudian, moderator mempersilakan Farid Ma’ruf naik ke atas mimbar. Sebenarnya, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) itu telah mempersiapkan berkas-berkas dalam map sebagai “senjata” untuk melawan dan mendebat tulisan Hamka. Semula dikiranya, penulis “Maka Pecahlah Muhammadiyah” itu akan menyerangnya bertubi-tubi di hadapan peserta sidang.
Ternyata, Hamka justru secara terbuka dan tulus meminta maaf kepadanya. Maka di atas podium, cukup lama Farid Ma’ruf pun terdiam. Lalu, dengan tenang dijelaskannya bahwa Moeljadi pernah menyatakan kepadanya, kesediaan untuk menerima jabatan menteri didasari perenungan mendalam dan seksama. Moeljadi menilai, dengan jabatan itu dirinya dapat menyokong dan mnedukung amal-amal sosial Muhammadiyah. Pertimbangan lainnya ialah, dalam kondisi sekarang tetap perlu adanya kerja sama antara Muhammadiyah dan pemerintah pusat.
Farid mengatakan, perbedaan pandangan antara dirinya dan Hamka sebenarnya sama-sama didorong atas niat baik. Namun, apabila ia dikhawatirkan membawa Persyarikatan Muhammadiyah pada Istana, ia pun bersedia diberhentikan dari jabatan struktur PP Muhammadiyah. “Dengan ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat….” katanya.
Belum selesai kalimat itu diucapkan Farid, Hamka segera berdiri dan mengacungkan tangan. “Pimpinan!” katanya berseru, “Jangan Saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka, yang harus mundur ….”
Belum selesai kalimat itu disampaikan Hamka, Farid kemudian turun dari mimbar. Ia lalu berjalan menuju Hamka, hendak memeluknya. Hamka pun menyongsong Farid. Kedua tokoh Muhammadiyah ini berpelukan dengan air mata keduanya bercucuran.
Semua hadirin di dalam Gedung Muhammadiyah Yogya tertegun. Lalu menyusul ucapan hamdalah dan tepuk tangan. Sesekali terdengar pekik takbir tanda syukur. Lantas, sidang Tanwir beranjak kepada topik lainnya hingga selesainta agenda.
Keesokan harinya, berita di harian Abadi memuat laporan berjudul: “Muhammadiyah Tidak Pecah!”