Polemik tentang khitan perempuan kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat setelah pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Salah satu pasal dalam PP tersebut, yaitu Pasal 102, menegaskan upaya penghapusan praktik sunat perempuan, yang menuai pro dan kontra.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, menilai bahwa larangan ini bertentangan dengan syariat Islam yang menganjurkan khitan bagi perempuan. Namun, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki pandangan yang berbeda, berdasarkan kajian yang mendalam terhadap dalil syarâi dan pertimbangan kemaslahatan.
Pemahaman Tentang Khitan Perempuan di Berbagai Tradisi dan Pandangan Mazhab
Khitan perempuan, yang dalam konteks global dikenal sebagai Female Genital Mutilation (FGM), merupakan praktik yang berkembang di berbagai negara, seperti di Afrika, Timur Tengah, Asia, hingga Amerika Latin. Di Indonesia, tradisi ini juga masih dilakukan dengan berbagai istilah lokal, seperti Mandi Lemon di Gorontalo, Basunat di Banjar, hingga Selam di Bangka Belitung.
Menurut mazhab Syafiâi, khitan diwajibkan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara, mazhab Hanbali memandangnya sebagai makrumah (kehormatan) bagi perempuan. Sedangkan dalam pandangan mazhab Maliki dan Hanafi, khitan bagi laki-laki dianjurkan (sunah), tetapi bagi perempuan hukumnya hanya makrumah.
Namun, ulama kontemporer seperti Mahmud Syaltut menyatakan bahwa karena tidak adanya dalil yang kuat tentang khitan perempuan, maka hukumnya dikembalikan kepada pertimbangan maslahat dan mudarat.
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Tentang Khitan Perempuan
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2, menegaskan bahwa khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyrūʻ). Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan berikut:
- Dalil Syariat yang Lemah
Tidak ada dalil qathâi (tegas dan pasti) dalam Al-Qur’an maupun hadis yang secara eksplisit mewajibkan atau menyunahkan khitan perempuan. Hadis yang sering dijadikan rujukan, seperti riwayat dari Ummu Athiyah yang menyebutkan “Janganlah berlebihan, karena itu lebih nikmat bagi perempuan dan lebih dicintai oleh suami,” dinilai lemah (dhaif) oleh para ulama hadis. - Pertimbangan Medis dan Sosial
Berdasarkan kajian kesehatan, praktik khitan perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko, seperti infeksi, pendarahan, hingga gangguan psikologis. Selain itu, praktik ini lebih banyak bersifat tradisi lokal dibanding tuntunan agama. - Prinsip Islam Berkemajuan
Muhammadiyah berpendapat bahwa Islam harus dikontekstualisasikan dengan prinsip kemaslahatan umat. Dalam hal ini, khitan perempuan yang lebih banyak membawa mudarat tidak dianjurkan untuk dilestarikan.
Keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah 2014
Dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-28 di Palembang tahun 2014, Muhammadiyah menegaskan bahwa:
- Khitan laki-laki sangat dianjurkan (masyrūʻ), sedangkan khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyrūʻ).
- Dalil-dalil yang sering dikaitkan dengan khitan perempuan tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat.
Strategi Mengubah Tradisi Khitan Perempuan
Mengubah tradisi khitan perempuan memerlukan pendekatan yang bijaksana dan berkesinambungan. Muhammadiyah mengusulkan strategi berikut:
- Sosialisasi dan Edukasi
Melalui tabligh, ceramah, dan diskusi yang intensif, masyarakat perlu diberi pemahaman tentang Islam yang berkemajuan dan tidak menganjurkan khitan perempuan. - Inisiasi Tradisi Baru
Untuk menggantikan tradisi khitan perempuan, Muhammadiyah mendorong pengembangan tradisi baru, seperti syukuran saat anak perempuan memasuki masa balig. Tradisi ini dapat menjadi simbol penghormatan terhadap perempuan tanpa melibatkan praktik berbahaya.
Kesimpulan
Pandangan Muhammadiyah tentang khitan perempuan menekankan pentingnya berpijak pada dalil yang kuat, pertimbangan kemaslahatan, dan prinsip Islam berkemajuan. Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah berharap masyarakat dapat memahami bahwa khitan perempuan tidak dianjurkan dan menggantinya dengan tradisi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.
FAQ Tentang Khitan Perempuan Menurut Muhammadiyah
1. Apa pendapat Muhammadiyah tentang khitan perempuan?
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih menyatakan bahwa khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyrūʻ), karena tidak ada dalil yang kuat untuk mewajibkan atau menyunahkannya.
2. Apakah khitan perempuan wajib menurut Islam?
Pendapat para ulama mazhab berbeda-beda. Namun, Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban khitan bagi perempuan berdasarkan dalil syarâi yang ada.
3. Apa risiko khitan perempuan?
Khitan perempuan dapat menyebabkan risiko kesehatan seperti infeksi, pendarahan, hingga trauma psikologis.
4. Apakah khitan perempuan merupakan tradisi atau ajaran agama?
Khitan perempuan lebih banyak terkait dengan tradisi lokal di berbagai negara, bukan ajaran agama yang bersifat universal.