Klik Gambar đŸ‘†đŸ» Selengkapnya

Hukum Isbal atau Celana Menutup Mata Kaki Menurut Muhammadiyah

Isbal, secara bahasa berasal dari kata “asbala” yang bermakna menurunkan, menjulurkan, atau memanjangkan. Dalam praktiknya, isbal mengacu pada cara memakai pakaian seperti celana, sarung, atau gamis yang panjangnya melebihi mata kaki hingga menyentuh tanah. Bagi sebagian umat Islam, isbal menjadi perkara yang serius karena dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan dan tolok ukur keimanan. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Muhammadiyah terhadap hukum isbal? Artikel ini akan mengulas permasalahan isbal dari sudut pandang Muhammadiyah dan membandingkannya dengan pendapat ulama lainnya.

Tiga Pandangan Utama tentang Hukum Isbal
Dalam Islam, terdapat tiga pendapat utama ulama terkait hukum isbal:

  1. Dibolehkan Tanpa Kesombongan
    Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan sebagian ulama Hanbali. Mereka berpendapat bahwa memakai pakaian di bawah mata kaki tidak menjadi masalah selama tidak disertai rasa sombong. Hadis Nabi Muhammad SAW yang melarang isbal dianggap terkait dengan konteks kesombongan, seperti yang biasa dilakukan oleh raja dan bangsawan pada masa itu.
  2. Makruh
    Imam asy-Syafi’i, Imam Nawawi, dan Ibnu Abdil Barr menilai isbal sebagai perbuatan makruh. Makruh di sini berarti tidak dianjurkan, namun tidak sampai pada tingkat haram.
  3. Haram Secara Mutlak
    Pendapat ini berasal dari ulama seperti Ibnu al-Arabi, al-Qadhi Iyadh, adz-Dzahabi, Ibnu Taimiyah, serta beberapa ulama salafi kontemporer seperti al-Albani dan al-Utsaimin. Mereka menganggap isbal sebagai perbuatan haram, baik disertai rasa sombong maupun tidak, berdasarkan interpretasi literal terhadap hadis-hadis Nabi SAW.

Pandangan Muhammadiyah tentang Hukum Isbal
Muhammadiyah memiliki pendekatan yang lebih moderat dalam menyikapi isbal. Majelis Tarjih berpandangan bahwa memakai celana atau sarung yang melampaui mata kaki pada dasarnya tidak terlarang dalam Islam, kecuali jika dilakukan dengan kesombongan, keangkuhan, atau untuk menunjukkan kemegahan.

Pandangan ini didasarkan pada konteks sejarah dan sosial, di mana pemakaian pakaian panjang di masa lalu sering menjadi simbol status sosial tinggi, terutama di kalangan raja dan bangsawan. Oleh karena itu, larangan isbal lebih terkait dengan sikap hati, bukan semata-mata panjang pakaian. Muhammadiyah juga mengacu pada pendapat ulama seperti Ibnu Jauzi dan Syaikh Yusuf al-Qardhawi yang memiliki pandangan serupa.

Mengapa Pendekatan Muhammadiyah Lebih Relevan?
Pendekatan Muhammadiyah terhadap isbal mencerminkan semangat ijtihad dan pemahaman kontekstual terhadap teks agama. Muhammadiyah tidak hanya memperhatikan aspek literal hadist, tetapi juga melihat makna dan tujuannya. Pendekatan ini membantu umat Islam untuk memahami bahwa agama tidak hanya menekankan simbol, tetapi juga nilai-nilai seperti kesederhanaan, rendah hati, dan menjauhi kesombongan.

Kesimpulan
Hukum isbal menurut Muhammadiyah adalah boleh selama tidak disertai kesombongan. Pendekatan ini berbeda dengan sebagian kelompok yang mengharamkan isbal secara mutlak. Muhammadiyah mengajarkan umat Islam untuk lebih fokus pada sikap dan niat daripada sekadar bentuk atau panjang pakaian. Pendekatan yang moderat ini sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, mengutamakan keseimbangan dan relevansi dalam setiap aspek kehidupan.


Sumber Rujukan: Tanya-Jawab Agama Islam yang diterbirkan  Suara Muhammadiyah pada tahun 2023 dan Buku Titik Pisah Fikih – Salafi Muhammadiyah

Share:
Cropped Cropped Masjidmuhammadiyah.com .jpg

Redaksimu

Portal Media Masjid Muhammadiyah Berkemajuan