Berjabat tangan merupakan salah satu tradisi yang lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan mempererat hubungan sosial. Dalam Islam, berjabat tangan memiliki keutamaan spiritual, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, kecuali dosa-dosa mereka diampuni sebelum berpisah.”
Namun, bagaimana hukumnya jika berjabat tangan dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram? Pertanyaan ini menjadi perbincangan yang menarik, terutama di tengah perbedaan pendapat para ulama.
Dalil-Dalil Larangan Berjabat Tangan dengan Bukan Mahram
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa berjabat tangan antara bukan mahram tidak diperbolehkan, merujuk pada ayat Al-Quran berikut:
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS. An-Nur: 31)
Ayat ini menunjukkan pentingnya menjaga batas interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Sebagai pendukung, hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menyebutkan:
“Demi Allah, tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menyentuh tangan perempuan saat membaiat mereka.”
Selain itu, hadis dari Ma’qil bin Yasar memberikan peringatan yang jelas:
“Lebih baik seseorang ditusuk kepalanya dengan pasak besi daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.”
Pendapat ini menekankan pentingnya kehati-hatian untuk menghindari fitnah dan menjaga kesucian hubungan sosial dalam Islam.
Pendekatan Kontekstual dan Pendapat Kontemporer
Namun, ada pula ulama yang mengusung pendekatan kontekstual. Yusuf al-Qaradhawi, misalnya, berpendapat bahwa larangan berjabat tangan bukan keharaman mutlak. Menurutnya, hukum berjabat tangan lebih bersifat preventif untuk mencegah potensi syahwat dan fitnah. Dalam kondisi tertentu, seperti antara perempuan tua dan laki-laki tanpa dorongan syahwat, berjabat tangan dapat menjadi lebih fleksibel, sebagaimana merujuk pada QS. An-Nur: 60.
Pendapat al-Qaradhawi juga menyoroti bahwa sikap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak berjabat tangan saat baiat bukanlah dalil larangan universal. Dalam usul fikih, tindakan Nabi yang tidak dilakukan tidak serta-merta menunjukkan keharaman, melainkan bisa bermakna makruh atau mubah, tergantung konteksnya.
Pandangan Muhammadiyah
Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan bahwa larangan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram bukanlah keharaman mutlak. Namun, larangan ini didasarkan pada prinsip kehati-hatian (sad aż-żarīah) untuk mencegah terjadinya syahwat yang dilarang atau fitnah. Dalam usul fikih, “Menolak kemafsadatan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.”
Perbedaan pendapat ini mencerminkan kekayaan khazanah hukum Islam. Bagi umat Islam, penting untuk mempertimbangkan konteks, niat, dan dampak berjabat tangan tersebut. Jika dilakukan dengan niat menjaga kehormatan dan dalam situasi yang aman dari fitnah, beberapa ulama memberikan kelonggaran. Namun, sikap kehati-hatian tetap menjadi prinsip utama.
Dengan memahami berbagai pandangan ini, umat Islam diharapkan dapat bersikap bijak dalam menjalankan syariat, menjaga adab, dan tetap memegang nilai-nilai Islami di tengah kehidupan sosial.