KabarMu – Tindakan pemagaran ruang laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Tangerang, Banten, telah menghebohkan publik. Pagar tersebut melintasi 16 kecamatan dan puluhan desa, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan mengenai tujuan serta pihak yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar tersebut. Pihak-pihak terkait, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah, telah memberikan tanggapan tegas terkait masalah ini.
Somasi Terbuka Muhammadiyah
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah bersama Koalisi Masyarakat Sipil telah melayangkan somasi terbuka kepada pihak yang bertanggung jawab atas pemagaran tersebut. Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Gufroni, mengungkapkan bahwa tindakan ini mengganggu aktivitas nelayan tradisional serta melanggar hak akses publik atas laut.
“Kami yang bertanda tangan di bawah ini, atas nama LBHAP Muhammadiyah bersama Koalisi Masyarakat Sipil, dengan ini menyampaikan somasi terbuka kepada pihak-pihak yang telah melakukan pemagaran laut sepanjang kurang lebih 30 km di wilayah pesisir utara Tangerang,” tulis Gufroni dalam surat somasi, Senin (13/1/2025).
Dalam keterangannya, Gufroni meminta pihak terkait untuk mencabut pagar tersebut dalam waktu 3×24 jam sejak somasi diterbitkan. “Jika tidak ada tindakan pencabutan, kami akan mengajukan laporan pidana ke Mabes Polri atas dugaan pelanggaran hukum terkait pemanfaatan ruang laut tanpa izin dan tindakan yang merugikan kepentingan umum,” tegasnya. LBHAP juga siap mengambil langkah hukum lainnya, baik secara administratif maupun perdata, guna memastikan hak-hak masyarakat nelayan dipulihkan.
Respons dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Kusdiantoro, mengungkapkan bahwa pemagaran ruang laut tersebut melanggar hukum dan berisiko tinggi. “Adanya pemagaran laut menunjukkan usaha tidak sah untuk mengklaim hak atas tanah laut, yang berisiko mengarah pada penguasaan penuh terhadap pemanfaatan laut, penutupan akses publik, kerusakan keanekaragaman hayati, dan mengubah fungsi ruang laut,” tegasnya.
Kusdiantoro menambahkan bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan praktik internasional yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). “Paradigma hukum pemanfaatan ruang laut telah berubah menjadi rezim perizinan, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Tujuannya adalah memastikan ruang laut tetap menjadi milik bersama yang adil dan terbuka untuk semua,” jelasnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyatakan bahwa pagar tersebut akan segera dicabut jika terbukti tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). “Pasti dicabut. Bangunan-bangunan yang ada di situ harus dihentikan,” ujarnya. Saat ini, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) sedang melakukan pengecekan langsung di lokasi.
Dampak Pemagaran Laut
Pagar laut misterius ini mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan, mengganggu aktivitas 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya setempat. Salah satu nelayan yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekagetannya atas pemasangan pagar tersebut. “Kaget sih, ‘Loh ini untuk apa? Semua juga kaget di sini nelayan. Ini untuk apa nih?” katanya saat ditemui di lokasi.
Penyegelan pagar oleh KKP dilakukan pada Kamis (9/1) atas perintah Presiden Prabowo Subianto dan arahan langsung Menteri KKP. Direktur Jenderal PSDKP, Pung Nugroho Saksono, menyebut bahwa pagar ini diduga tidak memiliki izin KKPRL dan keberadaannya jelas mengganggu nelayan dalam mencari ikan.
Kasus pemagaran ruang laut di pesisir utara Tangerang menjadi perhatian luas karena dampaknya yang signifikan terhadap masyarakat pesisir dan pelanggaran aturan hukum. Muhammadiyah, melalui LBHAP, bersama dengan KKP dan elemen masyarakat lainnya, terus berupaya memastikan keadilan dan akses laut bagi semua pihak. Proses hukum yang tegas diharapkan mampu menyelesaikan masalah ini dan memulihkan hak-hak masyarakat nelayan yang terdampak.