Agustus 2025 belum lama dimulai ketika lini masa media sosial di Indonesia mendadak dipenuhi oleh gambar dan video yang membingungkan sekaligus menggugah. Di antara bendera merah putih yang mulai dikibarkan, tampak pula bendera lain—berlatar hitam dengan tengkorak putih tersenyum, mengenakan topi jerami. Bendera bajak laut. Bendera Jolly Roger yang biasa dipakai kelompok Topi Jerami dari anime One Piece.
Tak hanya online. Di sejumlah gang sempit, sudut kota, bahkan di depan rumah warga, simbol fiksi ini hadir nyaris setara dengan bendera negara. Sekilas tampak seperti lelucon fandom, tapi di baliknya, fenomena ini menyimpan sinyal yang lebih dalam. Ini bukan sekadar simbol fandom. Ini adalah ekspresi sosial.
Pop Culture sebagai Bahasa Kegelisahan
Dalam One Piece, kelompok bajak laut Topi Jerami bukanlah penjarah yang membakar desa atau merampas kapal. Mereka adalah simbol perlawanan terhadap ketimpangan, korupsi sistemik, dan kekuasaan yang memanipulasi kebenaran. Mereka menyelamatkan, bukan menindas. Mereka bebas, bukan liar. Di semesta One Piece, Pemerintah Dunia mewakili sistem yang menindas atas nama ketertiban. Dalam narasi ini, bajak laut menjadi metafora untuk kebebasan yang diperjuangkan.
Maka ketika bendera mereka mulai dikibarkan di dunia nyata, terutama di Indonesia menjelang perayaan HUT ke-80 kemerdekaan, ini bukan sekadar fandom yang sedang ingin eksis. Ini adalah gejala sosial: pop culture digunakan sebagai bahasa alternatif untuk menyampaikan rasa yang tak terwakili dalam narasi formal kemerdekaan.
Antara Merdeka dan Merasa Merdeka
Delapan dekade Indonesia merdeka secara konstitusional. Tapi seperti yang kita tahu, merdeka secara hukum tak selalu berbanding lurus dengan merasa merdeka dalam hidup sehari-hari.
Harga hidup yang terus naik, lapangan kerja yang sempit, ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan, serta ironi-ironi birokrasi yang kadang terasa lebih menindas dari penjajah itu sendiri—membuat banyak orang bertanya ulang: merdeka dari siapa, untuk siapa?
Dan di sinilah simbol seperti bendera One Piece hadir sebagai pelarian sekaligus perlawanan. Sebuah bentuk kritik yang tidak turun ke jalan. Ia tak menabrak hukum, tapi cukup mengganggu. Ia menggugat lewat simbol.
Baca Juga: Download Logo HUT RI ke-80: Pedoman Visual, Elemen Grafis, dan Makna Logo
Bahaya Simbol atau Tanda Zaman?
Apakah ini bentuk dekadensi nasionalisme? Tidak sepenuhnya. Tapi apakah harus dibenarkan tanpa batas? Tentu tidak.
Kita tidak sedang bicara tentang mengganti Merah Putih. Tidak ada satu pun naskah negara yang bisa atau boleh digantikan oleh simbol fiksi. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa simbol pop culture kini mengambil ruang yang dulu dimonopoli oleh narasi resmi: lagu wajib, pidato kenegaraan, atau spanduk bertema syukur.
Dan jika generasi muda lebih memilih bendera bajak laut untuk menyuarakan keresahannya, maka yang perlu ditinjau ulang bukan hanya sikap mereka, tapi juga bagaimana negara menyampaikan pesan-pesan kebangsaan.
Apakah cara negara bercerita masih menyentuh batin rakyat? Atau sudah menjadi rutinitas tanpa ruh, sementara simbol dari dunia anime justru terasa lebih jujur dan hidup?
Refleksi Tanpa Mengkhianati Sejarah
Kita tetap harus adil. Simbol Merah Putih lahir dari darah para pahlawan, bukan dari tinta fiksi. Tanpa mereka, tak akan ada ruang kebebasan berekspresi seperti hari ini—termasuk untuk memasang bendera anime.
Tapi justru karena kita punya kebebasan itulah, kita dituntut untuk berpikir lebih dalam: apakah warisan kemerdekaan sudah diteruskan dengan layak?
Atau kita hanya mengenangnya, tapi gagal memperjuangkannya kembali dalam bentuk yang relevan hari ini?
Pop Culture Tidak Gagal Didengar. Kita yang Gagal Mendengarkan
Kita hidup di zaman ketika perlawanan tidak selalu turun ke jalan. Ia bisa muncul lewat meme, lewat simbol, lewat bendera fiksi. Kita bisa menganggapnya sepele, tapi seperti kata Slavoj Žižek, “Jangan remehkan lelucon, karena kadang itulah satu-satunya ruang kebenaran yang tersisa.”
Bendera One Piece yang berkibar di bulan Agustus mungkin terasa mengganggu. Tapi jauh lebih berbahaya bila kita menganggap semuanya baik-baik saja, padahal banyak yang diam-diam ingin bersuara tapi tak tahu harus pakai bahasa apa.
Merdeka Itu Harus Dirasakan, Bukan Hanya Diperingati
Bendera fiksi bukan ancaman bagi Merah Putih. Ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan bukan hanya perayaan, tapi perjuangan yang terus diperbarui. Jika rakyat tidak lagi merasa didengar oleh simbol resmi, maka mereka akan mencari simbol lain yang terasa lebih jujur.
Dan tugas kita bukan memadamkan simbol itu, tapi bertanya:
Apa yang gagal kita wujudkan, hingga simbol dari dunia fiksi terasa lebih relevan dibanding simbol kenegaraan?
Jika kita bisa menjawab itu dengan jujur, maka mungkin—untuk pertama kalinya dalam waktu lama—kita benar-benar sedang memperjuangkan kemerdekaan, bukan sekadar memperingatinya.
– Bagus S Abdullah
Pemerhati Pop Culture dan Sosial