Yogyakarta – Kajian Jelang Berbuka Puasa di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menarik perhatian jamaah. Setelah sebelumnya membahas konsep iman, akal, dan kedudukannya dalam Islam, pada Kamis (6/3), kajian berlanjut dengan tema “Profil Orang Beriman dan Berakal dalam Islam.” Kajian ini disampaikan oleh Ustadz Qaem Aukassyahied, S.Th.I., M.Ag., seorang dosen Ilmu Hadis UAD sekaligus anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Acara berlangsung di Masjid Islamic Center UAD.
Dalam pemaparannya, Qaem mengawali dengan mengutip Q.S. Ar-Rahman: 26-27, yang mengingatkan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat fana, sedangkan hanya Allah yang abadi. Ia mengajak jamaah untuk merenungi konsep cinta kepada Allah.
“Kalau kita bisa mencintai sesuatu yang sementara, kenapa kita tidak bisa mencintai sesuatu yang selamanya. Kalau kita bisa mencintai sesuatu yang di mata kita indah, tetapi bukan dia sumber keindahan, kenapa kita tidak mencintai pencipta dari keindahan tersebut,” terangnya, mengutip Jalaludin ar-Rumi.
Ia menegaskan bahwa mencintai Allah adalah bentuk cinta sejati, karena segala sesuatu di dunia ini akan berlalu, sedangkan Allah adalah sumber keindahan yang abadi. Cinta kepada Allah menjadi tanda dari keimanan yang kokoh.
Lebih lanjut, Qaem mengutip kitab Aisar at-Tafasir karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi untuk menjelaskan makna kata alhamdu. Menurutnya, alhamdu mengandung dua jenis pujian: pertama, ats-tsanu li dzatillah, yakni pujian terhadap zat Allah yang kekal; dan kedua, ats-tsanu li af’aalihi ‘ala ‘ibadihi, yaitu pujian atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, seperti umur, rezeki, dan kebahagiaan.
Qaem juga mengingatkan bahwa keimanan seseorang bisa mengalami pasang surut. Ia mengisahkan seorang Yahudi yang baru masuk Islam dan mengira bahwa keimanannya akan mempermudah kehidupannya, namun justru menghadapi berbagai ujian. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa keimanan itu seperti logam yang diuji dalam tungku api hingga terbentuk menjadi sesuatu yang lebih baik.
Dari kisah tersebut, Qaem menyampaikan tiga pelajaran utama:
- Keimanan pasti akan diuji.
- Iman memerlukan pembuktian.
- Pembuktian iman adalah ketika seseorang menjalankan fungsinya sebagai orang beriman.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 214 yang menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari perjalanan keimanan seorang Muslim.
Qaem juga menjelaskan dua tipe orang yang disebut merugi dalam Al-Qur’an, yakni mereka yang tampak beriman namun tidak benar-benar beriman kepada Allah (Q.S. Al-Baqarah: 8) dan mereka yang beriman tetapi berdiri di atas pinggiran tebing (Q.S. Al-Hajj: 11).
“Kalau yang dia dapatkan hidup adalah baik-baik saja, dia merasa tenang dalam keimanannya itu. Tetapi kalau baru diuji dengan satu fitnah, dia berpaling dari keimanannya itu dan bergantung diri kepada selain Allah SWT,” jelasnya.
Lebih lanjut, Qaem mengutip hadis Nabi SAW yang menegaskan bahwa iman yang sejati harus berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana sabda Rasulullah dalam H.R. Bukhari nomor 6274 yang menyatakan bahwa seseorang yang berbuat maksiat tidak sedang berada dalam keadaan beriman.
Sebagai penutup, Qaem mengutip rumusan Syaikh Abul A’la Al-Maududi tentang tiga indikator keimanan yang berfungsi:
- Iman yang membuat seseorang mencintai Allah di atas segalanya (Q.S. Al-Baqarah: 165).
- Iman yang mendorong seseorang untuk semangat melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
- Iman yang membuat seseorang berorientasi pada kehidupan akhirat (Q.S. Ibrahim: 2-3).
Qaem mengingatkan jamaah bahwa keimanan bukanlah kondisi statis, tetapi suatu perjalanan yang penuh ujian. “Orang beriman bukanlah yang tidak pernah berbuat dosa, tetapi mereka yang menyadari bahwa imannya akan diuji, sehingga selalu berusaha menghadirkan bukti dan menjadikan keimanannya berfungsi,” pungkasnya. (Giti/BT)