Dalam praktik beragama, keakuratan waktu memiliki peranan yang sangat vital, terutama pada ibadah yang berkaitan dengan waktu seperti salat, puasa, dan wukuf di Arafah. Pada Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 salah satu yang menjadi sorotan adalah kriteria waktu Subuh. Dalam hal ini, Muhammadiyah mengambil langkah serius dengan melakukan peninjauan ulang terhadap penentuan waktu Subuh, hingga akhirnya menetapkan bahwa waktu Subuh dimulai ketika posisi matahari berada di -18 derajat di bawah ufuk timur — berbeda dengan standar sebelumnya yang berada di -20 derajat. Keputusan ini membuat waktu Subuh versi Muhammadiyah lebih lambat sekitar 8 menit dibanding waktu sebelumnya.
Kenapa Harus Ditinjau Ulang?
Isu waktu Subuh bukan hal baru. Muhammadiyah mendapatkan banyak pertanyaan dari berbagai penjuru dunia terkait keakuratan jadwal azan Subuh, yang dirasa terlalu cepat. Bahkan, di beberapa negara seperti Maroko, sebagian masyarakat menunjukkan protes dengan tetap menyantap makanan sahur meski azan Subuh telah berkumandang — sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap keakuratan jadwal resmi.
Di Indonesia sendiri, keresahan ini muncul saat seorang dai dari Timur Tengah mempertanyakan mengapa azan Subuh sudah terdengar padahal langit masih gelap gulita. Hal ini menjadi bahan refleksi bagi para ahli falak dan ulama untuk mengevaluasi kembali posisi astronomis matahari saat fajar benar-benar terbit.
Penentuan Waktu Subuh: Bukan Sekadar Masalah Jam
Penentuan waktu Subuh berkaitan erat dengan fenomena alam berupa munculnya cahaya fajar atau benang putih (khait al-abyad) yang menggeser kegelapan malam (khait al-aswad), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 187. Namun dalam praktiknya, kondisi ini sulit diamati secara kasat mata karena pengaruh polusi cahaya dan udara, terutama di kawasan perkotaan.
Baca Juga: Jadwal dan Waktu Sholat Muhammadiyah Online
Karena itu, penentuan waktu salat dilakukan dengan pendekatan astronomi, bukan hanya dengan melihat jam dinding. Di sini, elemen pentingnya adalah ketinggian matahari (dip) dalam koordinat horizon. Awalnya, Indonesia menggunakan standar -20 derajat. Namun, setelah berbagai kajian mendalam, Muhammadiyah menyimpulkan bahwa posisi -18 derajat lebih akurat dalam menggambarkan terbitnya fajar yang sebenarnya.
Proses Ilmiah dan Kolaboratif
Keputusan ini bukan diambil secara sembarangan. Melalui Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 dan ke-31, Muhammadiyah melibatkan tiga lembaga riset astronomi internal:
-
Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU,
-
Pusat Studi Astronomi (Pastron) UAD, dan
-
Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA.
Ketiganya melakukan observasi lapangan menggunakan berbagai perangkat modern seperti Sky Quality Meter (SQM), kamera DSLR, drone, hingga all-sky camera di berbagai lokasi Indonesia. Hasilnya konsisten: fajar sejati muncul ketika matahari berada di -18 derajat, bukan -20 derajat seperti yang selama ini digunakan.
Didukung Data Global dan Para Ahli
Pandangan ini tidak hanya berdiri sendiri. Negara-negara seperti Malaysia, Turki, Inggris, Perancis, Australia, dan Nigeria juga memakai standar -18 derajat. Para ahli astronomi muslim dunia yang dapat dijangkau oleh tim Majelis Tarjih Muhammadiyah pun sepakat terhadap titik ini. Riset dari akademisi seperti Mohd Zambri Zainuddin dkk dari Malaysia turut memperkuat validitas data ini.
Baca Juga: Download Kalender Hijriah Global Tunggal 1447 H Muhammadiyah (KHGT)
Aspek Fikih: Ijtihadi, Bukan Mutlak
Perlu dipahami, perubahan ini bukan pada esensi ibadahnya, melainkan aspek ijtihadi — ranah penalaran manusia berdasarkan teks dan realitas. Dalam hukum Islam, perubahan seperti ini tidak membatalkan ijtihad lain, karena memang bukan termasuk kategori hukum qath’i (pasti). Dengan kata lain, meskipun Muhammadiyah menetapkan waktu Subuh versi baru, itu bukan untuk menegasikan keputusan lembaga lain.
Prinsip “al-ijtihādu lā yunqadlu bil-ijtihād” (sebuah ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad lainnya) menjadi dasar sikap terbuka Muhammadiyah terhadap keragaman pandangan.
Lebih dari Sekadar Perbedaan 8 Menit
Muhammadiyah meyakini bahwa waktu ibadah harus ditunaikan tepat pada waktunya. Maka, keakuratan waktu Subuh menjadi sangat penting karena jika salat dilakukan sebelum masuk waktunya, maka berisiko tidak sah. Perubahan ini juga mencerminkan sikap ilmiah, syar’i, dan wasathi (moderat) Muhammadiyah dalam mengembangkan praktik ibadah yang berdasar pada riset dan pemahaman mendalam terhadap teks-teks suci dan fenomena alam.
Waktu Subuh Muhammadiyah lebih lambat 8 menit bukan karena ingin berbeda, melainkan sebagai hasil ijtihad berbasis ilmu, riset astronomi, dan refleksi terhadap realitas. Keputusan ini merupakan ikhtiar Muhammadiyah untuk mendekatkan umat pada akurasi waktu ibadah, seraya tetap menghargai keberagaman ijtihad di kalangan umat Islam.







