KabarMu – Pada Ahad pagi, 9 November 2025, suasana Masjid Al-Dakwah Geluran, Taman, Sidoarjo, dipenuhi semangat keilmuan. Jamaah hadir mengikuti Kajian Subuh bersama Ustadz Muhammad Iqbal Rahman, S.Pd., seorang dai muda jawa timur yang dikenal dekat dengan dunia pendidikan dan pembinaan generasi muda. Dengan gaya khasnya yang komunikatif dan penuh humor ringan, beliau membawakan tema “Pendidikan Generasi Rabbani”, yang membedah peran orang tua dalam menjaga anak-anak di tengah derasnya arus informasi dan tantangan moral zaman.
Kajian ini tidak sekadar mengulas teori, tetapi menghadirkan analisis nyata tentang krisis nilai yang melanda Generasi Z dan Gen Alpha. Ustadz Iqbal memulai dengan mengingatkan tanggung jawab besar setiap Muslim sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Tahrim ayat 6 — menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Menurutnya, ayat ini bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan agar setiap orang tua sadar bahwa keberhasilan mendidik anak bukan diukur dari capaian akademik semata, melainkan dari sejauh mana mereka mengenal Allah dan berbuat baik kepada sesama.
View this post on Instagram
Lima Pilar Pendidikan Rabbani
Dalam tausiyahnya yang berlangsung sekitar satu jam, Ustadz Iqbal Rahman memetakan lima pilar utama pendidikan yang harus ditegakkan dalam keluarga Muslim modern. Pilar-pilar ini menjadi pondasi agar anak tidak terombang-ambing dalam kehidupan yang penuh distraksi.
1. Pendidikan Dimulai dari Masjid dan Kesabaran Orang Tua
Masjid, menurut beliau, adalah “titik nol” pendidikan Rabbani — tempat anak belajar nilai ibadah, disiplin, dan kebersamaan. Karena itu, orang tua diimbau untuk membiasakan anak hadir di masjid, meskipun awalnya hanya berlarian atau bermain. Ia menegaskan bahwa proses pembiasaan membutuhkan kesabaran luar biasa, sebagaimana makna “wastobir alaiha” dalam Al-Qur’an: bersabar dalam menegakkan ibadah. Orang tua yang cepat marah justru merusak suasana belajar spiritual di rumah.
2. Menguatkan Fikih Dasar dan Adab
Ustadz Iqbal menyoroti lemahnya pemahaman dasar fikih dan adab di kalangan anak muda. Ia mengamati banyak remaja yang belum memahami tata cara wudu dan salat dengan benar. Hal ini, katanya, menjadi alarm bahwa pendidikan agama di rumah masih bersifat instruktif, belum aplikatif. Orang tua perlu mengajari dan mencontohkan secara langsung, bukan hanya memerintah dari kejauhan. Pendidikan adab dan ibadah dasar adalah pondasi akhlak yang harus dipelihara sejak kecil.
3. Al-Qur’an Sebagai Sumber Cahaya Hidup
Pilar ketiga adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak. Ustadz Iqbal mengingatkan bahwa generasi yang tumbuh lebih dekat dengan gawai daripada mushaf akan kehilangan arah spiritual. Karena itu, orang tua perlu memberi teladan dengan membiasakan tilawah bersama, mengoreksi bacaan anak, dan menanamkan keyakinan bahwa derajat seseorang di akhirat sebanding dengan ayat terakhir yang mampu ia baca di dunia. Keluarga yang hidup bersama Al-Qur’an, katanya, adalah keluarga yang akan saling menuntun menuju surga.
4. Menumbuhkan Potensi Anak di Tengah Dunia Modern
Dalam pilar keempat, Ustadz Iqbal membahas tantangan pendidikan modern yang cenderung padat dan melelahkan bagi anak-anak. Sistem sekolah full day seringkali membuat mereka kelelahan dan kehilangan waktu berinteraksi dengan lingkungan masjid. Orang tua perlu selektif memilih lembaga pendidikan yang menyeimbangkan antara akademik dan spiritual, serta memberi ruang anak untuk mengembangkan potensi dan minatnya tanpa kehilangan nilai-nilai iman. Ia menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendukung utama perjuangan anak, bukan sekadar pengarah yang kaku.
5. Tantangan Mental di Era Digital: Bahaya “3F”
Bagian paling kuat dari ceramah Ahad pagi itu adalah analisis tentang “3F” — Food, Fashion, dan Fun, tiga hal yang disebut Ustadz Iqbal sebagai “senjata penjajahan modern” terhadap generasi muda.
Anak-anak masa kini, ujarnya, terlalu mudah dipengaruhi gaya hidup konsumtif dan berlebihan. Dari makanan pedas dan instan yang membuat tubuh tidak sehat, hingga tren pakaian yang membuka aurat dan menggiring pada pergaulan bebas. Sementara itu, budaya hiburan tanpa batas lewat gawai dan media sosial menciptakan generasi yang lebih sibuk mencari kesenangan daripada makna hidup.
Fenomena ini, menurut beliau, melahirkan dua penyakit mental besar: FOMO (Fear of Missing Out) — dorongan meniru segala hal yang sedang viral tanpa berpikir kritis, dan introvert ekstrem, yakni kebiasaan menutup diri, mudah tersinggung, serta kehilangan semangat sosial. Ia mengingatkan, penyakit-penyakit ini berakar dari kurangnya komunikasi hangat dalam keluarga. “HP yang membelikan kan orang tuanya, maka orang tua juga wajib memantau dan menemaninya,” ujarnya dalam nada reflektif.
Ia menilai, tanggung jawab pengawasan digital kini menjadi bagian dari pendidikan ruhani. Gadget bisa menjadi sumber kebaikan jika diarahkan, namun juga bisa menjadi pintu kehancuran jika dibiarkan tanpa bimbingan. Karena itu, keterlibatan orang tua dalam percakapan dan keseharian anak merupakan bentuk nyata dari kasih sayang dan jihad pendidikan.
Makna Kemenangan Sejati Orang Tua
Menutup kajian yang berlangsung dengan antusiasme tinggi itu, Ustadz Iqbal Rahman mengajak jamaah merenungkan kembali makna kesuksesan sejati dalam keluarga. Menurutnya, keberhasilan orang tua bukan diukur dari gelar akademik atau jabatan duniawi anak, tetapi dari sejauh mana anak mampu menjadi pribadi yang berbakti dan mendoakan orang tuanya setelah mereka tiada.
Ia menegaskan bahwa doa anak saleh adalah harta abadi yang akan terus mengalir di alam akhirat. Karenanya, seluruh ikhtiar mendidik anak harus dilandasi niat ikhlas untuk menanam amal jariyah yang tak terputus. “Semoga dari masjid yang mulia ini, Allah karuniakan kepada kita anak-anak yang saleh dan salihah,” tutupnya.
Masjid Sebagai Poros Pendidikan Umat
Kajian Subuh Ahad, 9 November 2025, di Masjid Al-Dakwah Geluran menjadi pengingat bahwa pendidikan Rabbani tidak bisa diserahkan kepada sekolah atau lingkungan semata. Ia harus lahir dari rumah-rumah yang hidup dengan dzikir, dialog, dan keteladanan iman.
Dari kajian ini, para jamaah membawa pulang satu kesadaran penting: masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi benteng moral keluarga dan pusat peradaban umat. Di tengah ancaman budaya “3F”, masjid menjadi ruang pembebasan — tempat di mana anak-anak belajar mengenal Tuhannya, menghormati orang tuanya, dan menyiapkan diri menjadi generasi penerus dakwah Islam yang tangguh dan berakhlak.


