KabarMu — Kajian Spesial dalam rangkaian CRM Award VI yang digelar oleh LPCRPM PP Muhammadiyah menjadi panggung penting bagi Ustadz H. Muhammad Jamaludin Ahmad, S.Psi., Psikolog, untuk membahas kembali posisi strategis masjid dalam pergerakan Muhammadiyah. Dengan tema “Memakmurkan Masjid, Menghebatkan Cabang dan Ranting”, beliau menyoroti realitas pengelolaan masjid masa kini dan urgensi keseriusan pimpinan dalam membenahi basis paling fundamental dari organisasi.
Mengawali pemaparan, Ustadz Jamaludin menunjukkan data survei terbaru mengenai kondisi jemaah salat lima waktu di berbagai masjid. Angkanya cukup mengusik: rata-rata hanya 30 orang setiap salat wajib.
Data ini bukan sekadar angka dingin, tetapi cerminan dari berkurangnya vitalitas masjid sebagai pusat pergerakan umat. Baginya, jika masjid sebagai basis utama mengalami pelemahan, maka kehidupan cabang dan ranting pun ikut kehilangan energi.
Dalam penyampaian yang tegas namun penuh kepedulian, Ustadz Jamaludin mengajak pimpinan persyarikatan untuk meninjau ulang prioritas pengelolaan organisasi. Ia menyoroti kecenderungan bahwa perhatian sering lebih besar kepada AUM seperti rumah sakit atau universitas ketika performanya menurun, sementara kondisi masjid yang sepi tidak selalu memantik kegelisahan serupa.
“Kita itu sering ribut kalau ada rumah sakit Muhammadiyah Aisyah yang pasiennya turun, turun pasiennya sedikit mesti ribut… tapi kalau masjid jemahnya sedikit…”
Sentilan ini menggarisbawahi bahwa masjid seharusnya mendapatkan keseriusan yang sama. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi pusat pendidikan keluarga, penguatan komunitas, dan titik vital tumbuhnya kader.
“Maka dari masjid kita bangkit, karena masjid adalah rohnya cabang ranting, ruhnya Muhammadiyah.”
Beliau kemudian menyampaikan curahan hati seorang jemaah yang menggambarkan kesunyian masjid yang perlahan kehilangan kehidupan jamaah.
“Pak Jamal, saya sedih, saya tidak tahu apakah kalau saya mati, masih ada orang yang salat di masjid ini.”
Ungkapan tersebut mencerminkan kekhawatiran mendalam tentang keberlangsungan masjid. Sebuah pengingat bahwa tanpa upaya sungguh-sungguh hari ini, masjid bisa kehilangan generasi penerus yang akan menjaga amal jamaah di masa mendatang.
Baca Juga: Inilah Para Pemenang dan Best of the Best CRM Award VI di Banjarmasin
Strategi Revitalisasi: Mulai dari SDM dan Suasana Masjid
Ustadz Jamaludin menekankan bahwa revitalisasi masjid tidak dapat dilepaskan dari dua aspek besar: regenerasi pengelola dan penguatan suasana kebahagiaan di lingkungan masjid.
1. Melibatkan dan Menguatkan Generasi Muda
Menurutnya, banyak masjid yang stagnan bukan karena tidak ada program, tetapi karena tidak terjadi regenerasi yang sehat. Masjid perlu memberikan ruang yang lebih luas untuk anak muda sebagai penggerak utama.
“Hanya masjid yang dikelola anak muda yang mengerti bagaimana caranya mendatangkan anak muda.”
Pimpinan senior tetap memiliki posisi penting—sebagai pembina, penenang, dan pemberi arah—tetapi operasional harus dijalankan oleh generasi yang lebih muda. Model seperti Akademi Marbot disebut sebagai salah satu jalan untuk mencetak SDM yang kompeten, berdaya, dan berkarakter.
2. Membangun Lingkungan Masjid yang Membahagiakan
Masjid tidak cukup hanya aktif secara program. Ia harus mampu memberikan pengalaman spiritual dan fisik yang menyenangkan. Ustadz Jamaludin mencontohkan hal paling dasar, yaitu toilet dan tempat wudu yang bersih dan nyaman.
Masjid seharusnya menjadi tempat orang merasa tenang, betah, dan ingin kembali. Hayya ‘alal Falah dalam adzan seharusnya menghadirkan rasa keberuntungan, bukan tekanan karena kondisi fasilitas yang buruk.
Beliau menegaskan bahwa suasana masjid yang bahagia akan menciptakan energi dakwah yang kuat, membangkitkan kembali semangat jamaah, dan menjadi magnet bagi keluarga serta anak-anak muda.
Meluruskan Pemahaman: Ikhlas Bukan Alasan untuk Tidak Beribadah
Pada bagian akhir kajiannya, Ustadz Jamaludin mengangkat isu mendasar terkait ibadah yang kerap disalahpahami. Banyak orang menjadikan alasan “belum ikhlas” sebagai pembenar untuk meninggalkan ibadah tertentu.
“Ibadah memang harus ikhlas… Maka ibadah yang harus ikhlas itu jangan kemudian menjadi tidak ibadah karena kita belum ikhlas.”
Menurut beliau, keikhlasan justru tumbuh dari konsistensi melakukan ibadah, bukan dari menunggu perasaan sempurna terlebih dahulu. Karena itu, beliau menekankan perlunya membiasakan diri—dan keluarga—untuk hadir salat berjamaah di masjid. Meskipun pada awalnya terasa berat, kebiasaan akan membentuk ketaatan, dan dari ketaatan itulah lahir keikhlasan yang lebih utuh.


