Yogyakarta, menjelang akhir abad ke-19. Di tengah masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budaya feodal dan praktik keagamaan yang banyak bersandar pada ritual semata, lahirlah seorang anak pada 1 Agustus 1868—Muhammad Darwis, nama yang kelak dikenal luas sebagai KH Ahmad Dahlan. Ia bukan sekadar ulama, tapi seorang pembaru pemikiran Islam yang menanamkan semangat kemajuan, serta mendirikan Muhammadiyah—organisasi yang hingga kini tetap menebar manfaat bagi kehidupan beragama dan berbangsa.
Ahmad Dahlan tumbuh dalam lingkungan keluarga ulama yang religius. Sejak kecil, ia akrab dengan ilmu-ilmu agama. Namun bukan hanya didikan keluarga yang membentuk jiwanya. Perjalanan panjangnya menuntut ilmu hingga ke Mekkah mempertemukannya dengan beragam pemikiran Islam dunia. Dari sanalah kesadarannya tumbuh: bahwa Islam bukan sekadar dogma, tapi cahaya yang harus membawa umat menuju kemajuan, keadilan, dan pencerahan. Pandangan inilah yang kelak mengubah hidupnya—dan juga arah sejarah bangsanya.
Kembali dari Mekkah: Benih Pembaruan
Usai menimba ilmu selama lima tahun di Mekkah, Ahmad Dahlan pulang ke tanah air dengan membawa semangat perubahan. Ia menyaksikan langsung bagaimana praktik keagamaan umat Islam kala itu banyak terjebak dalam simbol dan tradisi, namun kurang menyentuh esensi. Rasionalitas seolah terpinggirkan, sementara masyarakat tak berdaya menghadapi penjajahan dan keterbelakangan pendidikan.
Bagi Dahlan, agama bukan hanya soal ibadah atau urusan pribadi, melainkan kekuatan yang mampu menggerakkan perubahan—yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Keyakinan inilah yang menjadi pijakan saat ia mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta—sebuah gerakan yang menghidupkan ajaran Islam dalam kehidupan nyata, dengan ilmu, amal, dan keberpihakan pada kemajuan umat.
Muhammadiyah: Iman yang Menggerakkan Ilmu dan Kepedulian
Sejak awal berdirinya, nama Muhammadiyah bukan sekadar label, tapi cerminan dari tekad kuat untuk meneladani ajaran Nabi Muhammad secara utuh—bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam cara berpikir dan bertindak di tengah masyarakat. Dengan pendekatan yang rasional dan relevan dengan zamannya, Muhammadiyah hadir tidak hanya membangun masjid, tapi juga mendirikan sekolah, rumah sakit, dan berbagai lembaga sosial. Semua itu adalah wujud nyata dari keyakinan bahwa iman harus membawa manfaat bagi sesama.
Di usianya yang saat itu masih muda, Muhammadiyah sudah berani mengambil langkah besar: membuka pendidikan yang memadukan ilmu agama dengan ilmu umum. Sesuatu yang dulu dianggap berani, bahkan tak jarang ditentang. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah, pelajaran seperti Bahasa Belanda, Matematika, dan IPA diajarkan sejajar dengan Tafsir dan Fiqih. Inilah titik awal perubahan besar dalam dunia pendidikan Islam Indonesia—yang membuka cakrawala dan menyambungkan iman dengan ilmu dalam satu napas perjuangan.
Mendidik untuk Merdeka, Mencerahkan Tanpa Amarah
Alih-alih mengangkat senjata atau berteriak dalam kemarahan, Ahmad Dahlan memilih jalan yang lebih sunyi namun berdaya: mendidik dan mencerahkan. Ia percaya bahwa melawan penjajahan tidak harus dengan kekerasan, tapi dengan membentuk manusia yang berpikir jernih, berilmu, dan berakhlak mulia.
Bagi Dahlan, perlawanan sejati bukan sekadar soal fisik, tapi soal membebaskan cara pandang dan membuka cakrawala. Ia melawan kolonialisme bukan dengan kebencian, tetapi dengan pena yang mencerdaskan, sekolah yang membangun harapan, dan rumah sakit yang merawat kemanusiaan. Itulah strategi cerdas yang ia pilih—melawan ketertinggalan dengan ilmu, dan menjawab penindasan dengan keteguhan hati yang penuh kasih.
Kesederhanaan dan Keteladanan
Sebagai pemimpin, KH Ahmad Dahlan dikenal sangat sederhana. Rumahnya kecil, hidupnya tidak mewah, dan ia selalu berada di tengah rakyat. Dalam banyak catatan murid-muridnya, ia tidak hanya guru dalam pelajaran, tetapi juga dalam perilaku. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya, tetapi memberi ruang berpikir dan berdiskusi. Baginya, ijtihad (usaha sungguh-sungguh) dan tajdid (pembaruan) adalah jalan untuk menghidupkan Islam agar tidak membatu dalam dogma.
Warisan Abadi: Lebih dari Sekadar Organisasi
KH Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923 dalam usia 54 tahun. Namun, warisan intelektual dan sosialnya terus hidup. Muhammadiyah berkembang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, dengan ribuan amal usaha: sekolah, universitas, rumah sakit, panti asuhan, hingga lembaga kemanusiaan yang bekerja lintas agama dan batas negara.
Muhammadiyah bukan hanya rumah bagi umat Islam, tetapi juga menjadi teladan bagaimana agama dijalankan secara inklusif, berkemajuan, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Relevansi Kekinian
Beberapa waktu lalu tepat 1 Agustus setiap tahunnya, kita tidak hanya memperingati kelahiran KH Ahmad Dahlan, tetapi juga merefleksikan ulang warisan dan pesan-pesannya. Di era digital dan disrupsi hari ini, ide-idenya tentang pendidikan, keadilan sosial, dan pembaruan agama terasa makin relevan.
Ketika sebagian masyarakat terjebak pada ekstremisme, hoaks agama, dan semangat intoleransi, semangat KH Ahmad Dahlan justru menegaskan pentingnya rasionalitas dalam beragama dan pentingnya memanusiakan manusia dalam segala aspek.
Refleksi atas hidup KH Ahmad Dahlan adalah ajakan untuk tidak pernah lelah berpikir dan bergerak demi kemajuan. Ia tidak membiarkan agama menjadi menara gading yang terpisah dari realitas sosial. Sebaliknya, ia menjadikan Islam sebagai kekuatan perubahan yang aktif dan konstruktif.
Ahmad Dahlan tidak hanya memberi kita organisasi, tetapi juga visi tentang bagaimana menjadi Muslim yang berakal sehat, berakhlak luhur, dan berguna bagi semesta.
Oleh : Bintang Fajar AdiSatria