Kutitipkan Muhammadiyah: Tujuh Warisan K.H. Ahmad Dahlan untuk Umat

Kutitipkan Muhammadiyah Tujuh Warisan K.H. Ahmad Dahlan untuk Umat

KabarMu – Kajian yang disampaikan oleh Ustadz Khoiri, S.Th.I., M.Pdi di Masjid Al-Dakwah Geluran pada Ahad Subu, 16 November 2026 mengupas tuntas wasiat pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, yang lebih dikenal dengan pesan, “Kutitipkan Muhammadiyah.” Wasiat ini muncul sekitar tahun 1923, di mana Kiai Dahlan mulai merasakan penurunan kesehatan.

“Aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu sekalian dengan penuh harapan, agar engkau sekalian berkenan memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati, sehingga Muhammadiyah dapat terus berkembang selamanya.” — KH. Ahmad Dahlan

Dari 15 wasiat yang sebenarnya disampaikan, pesan inti ini kemudian dirumuskan dan dipertegas dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah tahun 1951. Perumusan ini merangkum esensi dari “Muhammadiyah yang seperti apa” yang ingin diwariskan. Menurut Ustadz Khoiri, terdapat tujuh ciri khas atau wajah Muhammadiyah yang harus terus dijaga oleh umat.

Tujuh Ciri Khas (Wajah) Muhammadiyah

Tujuh ciri khas ini adalah pondasi gerakan yang dititipkan kepada seluruh warga persyarikatan, yaitu:

1. Wajah Puritan: Kemurnian Iman dan Ibadah

Muhammadiyah dicirikan sebagai gerakan puritan, yang berarti memurnikan akidah dan ibadah.

  • Pemurnian Akidah: Warga Muhammadiyah dididik untuk memiliki iman yang murni dan tidak terkontaminasi oleh takhayul atau kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid. Contoh spesifik yang ditekankan adalah tidak percaya pada hari-hari sial atau hari yang dianggap sakral. Menganggap suatu hari sebagai hari sial dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap pencipta waktu (Allah Swt.).

  • Penerapan Tauhid dalam Amal: Tauhid yang murni harus diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Pengelola AUM yang berintegritas, transparan, dan anti korupsi adalah cerminan dari tauhid yang “beres” atau berkualitas.

  • Ibadah yang Sederhana: Dalam ibadah, Muhammadiyah memilih cara yang sederhana dan tidak berlebihan, berdasarkan dalil yang kuat. Sebagai contoh, saat mengambil rukhsah (keringanan) seperti jamak qasar dalam safar, tidak disarankan menambahnya dengan salat sunah qobliyah dan ba’diyah. Hal ini sesuai dengan semangat kemudahan dalam beribadah.

  • Dzikir yang Efisien: Dalam berdzikir, warga Muhammadiyah juga mengambil jalan yang paling cepat namun paling unggul pahalanya, seperti dzikir yang diajarkan Rasulullah kepada Juwairiah yang menyetarai dzikir panjang.

2. Wajah Literalis: Ilmu dan Rujukan yang Kuat

Ciri khas kedua adalah fokus pada literasi dan rujukan ilmiah yang kuat dalam beragama.

  • Verifikasi Dalil: Warga Muhammadiyah terkenal dengan pertanyaan fundamental, “Dalilnya mana?” Setiap amalan harus memiliki dasar yang jelas, baik dari Al-Qur’an (surat, ayat) maupun Hadis (periwayat dan nomor hadis).

  • Jalur Ilmu dan Sanad: Muhammadiyah menempuh jalur sanad keilmuan untuk hadis dan jalur rujukan (referensi/literasi) untuk keilmuan. Sanad keilmuan ini dipastikan tersambung melalui guru-guru Kiai Dahlan hingga Rasulullah Saw.

  • Semangat Membaca: Semangat literalisasi ini menjadikan warga Muhammadiyah memiliki kecenderungan kuat untuk mengoleksi dan mencari buku, meskipun terkadang terbentur dengan kondisi finansial. Prinsip yang dipegang teguh adalah “kembali pada Kitabullah dan Sunnah Rasul.”

3. Sikap Altruis: Semangat Sedekah dan Kurban (Sakha)

Altruisme atau dalam bahasa agama disebut sakha (loman, nyah-nyoh) adalah ciri khas yang paling menonjol.

  • Tarekat Amal: Jika organisasi lain memiliki tarekat zikir, Muhammadiyah memiliki tarekat amal melalui gerakan infak dan sedekah. Semangat berinfak selalu dipompa dengan dalil-dalil kuat seperti fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) dan hadis tentang harta yang sejati adalah yang disedekahkan.

  • Kekuatan Sedekah: Sedekah yang disalurkan melalui lembaga seperti LazisMu, memberikan kekuatan luar biasa bagi persyarikatan, yang membuat para pelakunya dicintai oleh Allah dan manusia (Innaka qoriibun minallah wa qoriibun minannaas).

  • Kritik Internal (Autokritik): Namun, semangat ini juga memiliki risiko:

    • Strata Kekayaan: Munculnya strata di internal organisasi, di mana orang yang lebih kaya cenderung lebih dihormati atau memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan. Ustadz Khoiri berpesan agar yang kaya (yang menyumbang besar) harus ikhlas dan tidak mengatur-atur.

    • Fokus Amal yang Statis: Ada kecenderungan amal hanya difokuskan pada panti dan pembangunan sekolah besar, sementara kesejahteraan guru-guru TPQ, Playgroup, dan TK di tingkat ranting (yang gajinya di beberapa tempat sangat minim) sering terabaikan. Hal ini perlu digeser agar semangat altruis juga memperhatikan para pejuang pendidikan dasar ini.

4. Mentalitas Aktivis: Kolektif-Kolegial

Mentalitas aktivis di Muhammadiyah harus diwujudkan dalam kepemimpinan kolektif-kolegial.

  • Musyawarah Mufakat: Keputusan struktural selalu diambil melalui rapat pimpinan, bukan oleh individu. Ini adalah mentalitas keren yang harus terus dipupuk.

  • Meredam Persaingan: Pola kolektif-kolegial berhasil meredam persaingan personal dan perebutan pengaruh yang sering terjadi di luar organisasi yang berdiri di atas yayasan masing-masing.

  • Kaderisasi: Meskipun periodisasi kepemimpinan sudah berjalan baik, perlu perhatian serius terhadap kaderisasi. Harus ada ruang bagi anak-anak muda dengan ide-ide fresh agar tidak terbentur oleh “kebakuan” aturan kaum tua.

5. Semangat Egaliter: Kesetaraan dalam Berperan

Muhammadiyah mewariskan semangat kesetaraan (egaliter) dalam kehidupan bermasyarakat.

  • Kesetaraan Peran: Kiai Dahlan sudah mendobrak sekat antara laki-laki dan perempuan sejak awal dengan memberdayakan kaum wanita (melalui Aisyiyah). Semua warga memiliki peran yang setara dalam persyarikatan.

  • Kritik Adab: Tantangan dari semangat egaliter adalah munculnya virus kurang adab atau sopan santun. Kesetaraan dalam berpikir dan berpendapat (terutama antara yang muda dan yang tua) jangan sampai menggerus akhlak. Sopan santun terhadap guru atau orang yang lebih tua harus tetap dijunjung tinggi sebagai bagian dari urf (kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan syariat).

6. Adaptif dan Dinamis: Menyambut Kebaruan

Muhammadiyah harus memiliki ciri adaptif dan dinamis agar terus relevan.

  • Sinergi Kebaruan dan Kebakuan: Gerakan ini harus menyatukan kebaruan (ide kreatif anak muda) dengan kebakuan (aturan dan manhaj organisasi).

  • Ruang Kreativitas: Anak muda yang kreatif harus diberi ruang. Jika ide mereka terbentur oleh prosedur yang terlalu rumit, mereka akan mencari wadah lain. Kebebasan berpikir diizinkan selama tidak menabrak pondasi tauhid Muhammadiyah (contoh: tidak sepakat dengan Islam Liberal).

7. Semangat Reformis: Menghindari Stagnansi

Reformis adalah ciri khas Muhammadiyah yang selalu menemukan strategi baru.

  • Pembaruan Gerakan: Mental reformis harus terus hidup untuk menghindari stagnansi. Jika satu program (misalnya: pengajian Ahad Pagi) sudah berjalan bertahun-tahun, harus muncul lagi ide-ide baru lainnya.

  • Denyut Persyarikatan: Tujuannya adalah agar denyut bersyarikat (aktivitas organisasi) selalu terasa, didukung penuh oleh kaum tua, dan dieksekusi oleh semangat kaum muda.

Tujuh ciri khas ini adalah modal utama yang dititipkan K.H. Ahmad Dahlan kepada kita. Wasiat “Kutitipkan Muhammadiyah” adalah amanah besar untuk menjaga kemurnian ajaran, menegakkan etos keilmuan dan literasi, serta memelihara semangat beramal sosial yang berbasis kolektivitas dan adab.

Share: