Dalam kehidupan manusia, organisasi adalah keniscayaan. Sejak lahir, manusia hidup dalam kelompok—mulai dari keluarga, masyarakat, hingga komunitas yang lebih luas. Organisasi hadir sebagai wadah untuk menyatukan visi, menyusun rencana, dan mengelola langkah bersama demi tercapainya tujuan. Hal ini berlaku pula dalam kehidupan umat Islam.
Namun, tidak sedikit kalangan yang menaruh curiga, bahkan menolak keberadaan organisasi dalam kehidupan beragama. Sebagian beranggapan bahwa bergabung dalam organisasi Islam akan menimbulkan ashabiyah (fanatisme buta), memecah belah umat, hingga menyalahi prinsip tauhid. Penolakan seperti ini sejatinya lahir dari kekhawatiran yang berlebihan, sekaligus kurangnya pemahaman tentang hakikat organisasi dalam bingkai syariat.
Organisasi dalam Perspektif Islam
Islam adalah agama yang menekankan keteraturan, persaudaraan, dan kerja sama. Firman Allah dalam Al-Qur’an menegaskan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104)
Ayat ini menjadi fondasi bahwa kerja kolektif sangat dianjurkan, selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan. Dengan demikian, membentuk atau mengikuti organisasi Islam yang mengajak pada dakwah, pendidikan, pemberdayaan umat, atau amal sosial, justru sejalan dengan perintah Allah.
Ada sebuah maqūlah penuh hikmah, Al-khayru ghayru al-munazzam qad yaghlibuhu asy-syarru al-munazzam yang kurang lebih artinya Kebaikan yang tidak terorganisir bisa dikalahkan oleh keburukan yang terorganisir.
Rasulullah ﷺ pun mencontohkan pentingnya “organisasi”. Ketika membangun masyarakat Madinah, beliau menyusun Piagam Madinah sebagai dasar kehidupan bersama yang teratur, dengan aturan, kepemimpinan, dan visi kolektif. Itu sejatinya adalah bentuk manajemen organisasi paling awal dalam sejarah Islam.
Menghindari Ashabiyah dan Ghuluw
Memang benar, bahaya yang sering ditakutkan dalam berorganisasi adalah munculnya ashabiyah—yaitu fanatisme buta terhadap kelompok—serta sikap ghuluw (berlebihan) dalam membela pendapat sendiri sambil menafikan yang lain. Kekhawatiran ini sah untuk diingatkan, tetapi tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak seluruh bentuk organisasi.
Islam justru mengajarkan keseimbangan: berbeda pendapat dalam ranah ijtihad fiqih adalah wajar, tetapi tetap harus dijaga dalam koridor persaudaraan. Selama organisasi tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak mengajarkan bid’ah yang menyesatkan, serta tetap membuka ruang dialog, maka keberadaannya bukanlah perpecahan melainkan kekayaan khazanah umat.
Organisasi sebagai Sarana Izzah Umat
Umat Islam tidak akan kuat bila berjalan sendiri-sendiri. Tantangan zaman menuntut adanya tata kelola yang rapi, strategi yang matang, serta manajemen yang profesional. Semua itu tidak mungkin dicapai tanpa wadah organisasi.
Di era modern, organisasi menjadi sarana penting untuk:
-
Mengokohkan Aqidah – dengan menghadirkan pendidikan, kajian, dan dakwah yang terarah.
-
Membangun Peradaban – melalui karya nyata dalam bidang pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sosial.
-
Memperjuangkan Kepentingan Umat – dengan advokasi, penguatan suara politik, dan kerja kolektif lintas sektor.
Inilah yang disebut dengan semangat tajdid (pembaharuan), yaitu upaya membangkitkan umat agar tetep menjaga kemurnian akidah, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dengan trobosan peradaban.
Penutup
Maka, bolehkah umat Islam mengikuti organisasi? Jawabannya: bukan hanya boleh, tetapi perlu—selama organisasi itu berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah, serta tidak terjebak pada fanatisme buta. Dengan organisasi, umat Islam dapat membangun kekuatan kolektif, menjaga izzah, serta menghadirkan maslahat bagi semesta.
Menolak organisasi dengan alasan takut perpecahan justru akan melemahkan umat. Yang harus dihindari bukan organisasinya, melainkan penyakit fanatisme yang mengkerdilkan ukhuwah. Saatnya umat Islam menata diri, bergabung dalam wadah-wadah kebaikan, dan bersama-sama mengisi peradaban dengan amal yang terarah.


